#comment-holder p a {display:none;}

Selasa, 25 Oktober 2011

Kata Para Penulis Tentang Novel Xie – Xie Ni De Ai



Super Herbal

Pahlawan Devisa Menulis Novel


Novel “Xie – Xie Ni De Ai” ini atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia “Terima Kasih untuk Cintamu” ditulis oleh seorang BMI muslimat asal Gunungkidul, Yogyakarta, yang bekerja di Hong Kong selama beberapa tahun. Novel yang memang lebih tepat dibaca golongan usia remaja dan awal dewasa ini mengambil setting di Hong Kong dengan latar belakang silang budayanya. Sang pengarang sendiri boleh dibilang sebagai pengarang pendatang baru di Indonesia. Seorang muslimat bernama Mell Shaliha seolah hendak mengisahkan sisi lain dari kekerasan dan penganiayaan yang dialami oleh kebanyakan TKI, TKW, atau BMI pada umumnya dalam karya novelnya ini.

Tentu saja Mell Shaliha bukan satu-satunya pahlawan devisa yang menulis kisah-kisahnya dalam novel. Sekitar tahun 2006, Pilar Media Yogyakarta pernah menerbitkan novel “Ranting Sakura” yang ditulis oleh Siti Mariyam Ghozali, TKW kelahiran Wonosobo dengan nama pena Maria Bo Niok. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas menulis sangat mungkin bukan hanya sekadar luapan-luapan emosi semata, tetapi boleh jadi sebuah pengukuhan diri bahwa seorang TKI, TKW, atau BMI yang rata-rata berpendidikan SMP atau SMA tidak sepatutnya dianggap remeh. Bahkan, perlu diapresiasi dengan penghargaan yang sepadan.

Selain sebagai buruh migran, Mell Shaliha berkesempatan mendapatkan sedikit—untuk tidak mengatakan banyak—kesempatan beraktivitas selain mengurusi pekerjaan rumah tangga. Ia boleh menulis tentu saja. Ia juga menjadi koresponden pada majalah dwimingguan Apakabar Indonesia di Hong Kong. Selain itu, ia menjadi members dalam sebuah komunitas yang berkonsentrasi dalam kepenulisan yaitu Forum Lingkar Pena (FLP) wilayah Hong Kong. Beberapa karya berupa puisi, cerpen, dan cerbungnya pernah menjuarai lomba dalam lingkup FLP, juga majalah Apakabar Indonesia tersebut.

Sangat menarik mendalami tokoh Ale (Alenia Fathmawati) sebagai tokoh utama dalam novel “Xie-Xie Ni De Ai” ini. Mell ‘mengisi’ karakter Ale tidak hanya sebagai perempuan muslimat saja, tetapi representasi perempuan Indonesia. Setidaknya, semangat, ketabahan, dan dedikasi Ale sangat perlu dicontoh oleh generasi muda dalam lingkaran globalisasi dan rayuan-rayuan hiperialitas saat ini. Wong wedok ilang wedoke (perempuan hilang sifat keperempuanannya), ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut boleh dibuktikan pada zaman sekarang. Gaya hidup yang kian mengekor budaya Barat menyebar tak terbendung. Perilaku sosial mulai menjauhi batas moral. Islam dalam diri individu banyak terombang-ambing dengan segala-gala kemudahan dan tawaran menggiurkan dunia modern yang penyebaran dan penyerapannya semudah mengiris jadah. Gadis belia mulai tidak memperhatikan aurat. Identitas diri yang lekat dalam tubuhnya mulai mengkeret, sempit, dan minim. Perlu disadari bahwa pakaian adalah identitas. Pakaian adalah pengukur seberapa tinggi kita menghargai diri kita sendiri terhadap rasa malu. Ini hanyalah salah satu contoh longsornya nilai-nilai agama dan budaya yang sudah sangat memprihatinkan.

Lihatlah Ale! Perempuan muslimat Indonesia yang hanya salah satu di antara ribuan BMI lainnya—berjuang untuk perbaikan hidup di Hong Kong. Ale tidak hanya sekadar mencari nafkah, tetapi menurutnya ada banyak hal yang mesti dikerjakan seperti memajukan kreativitas, ataupun menajamkan kemampuan berpikir, dan juga langkah-langkah tabah dalam memecahkan masalah. Ia tidak pasrah hanya sebagai pembantu, tetapi ingin derajat ilmu pengetahuan dan skill-nya sama dengan siapa pun tanpa mengurangi tanggung jawab pekerjaannya. Selain itu, bagian terpenting yaitu sebagai perempuan Indonesia yang muslimat ia tetap menjaga ke-Indonesiaannya juga nilai-nilai ke-Islaman dalam dirinya setara dengan nyawanya sendiri. Inilah kiranya ide inspiratif Mell Shaliha dalam ‘menghidupkan’ sosok Ale sebagai tokoh utama.

Jilbab, kalau boleh disebut lambang dijadikan pilihan tepat oleh pengarang untuk melambangkan pesannya. Ahmad Tohari yang juga seorang kyai pondok pernah menulis novel “Kubah” sebagai sarana melambangkan pesannya. Dalam novel itu digambarkan kurang lebih kembalinya sebuah kesesatan ke jalan yang benar—jalan Allah: yang dilambangkan sebagai kubah masjid. Barangkali tidak melenceng jauh jika jilbab menjadi lambang jati diri sekaligus benteng pertahanan harkat dan martabat Ale yang harus diperjuangkan sebenarnya, juga identitas muslimat pada umumnya.

Pada permulaan konflik novel, jati diri Ale itu secara tidak sengaja kemudian diuji oleh banyak peristiwa. Kerumitan lingkup peristiwanya seputar: cinta—kesetiaan—kejujuran—keluguan—kepatuhan—persahabatan—perselisihan, yang masing-masing dimainkan oleh tokoh-tokoh pendukung untuk menjadi sebuah balutan kisah pelik. Berikut kutipannya:

“Bagaimanapun Aanon tidak akan mengerti apa yang dirasakan Ale. Ketika tiba-tiba Aanon melihatnya tanpa jilbab. Entah berpengaruh atau tidak terhadap Aanon, atau bahkan dia tidak peduli, akan tetapi bagi Ale ini suatu musibah. Namun, Ale sudah sedikit tenang, meskipun menyesal dengan kejadian itu.”

Peristiwa itu menjadi pintu masuknya ujian-ujian hidup yang akan dihadapi Ale selanjutnya. Tokoh-tokoh pendukung yang berkewarganegaraan Cina pada umumnya seperti Chelsy, Selina, Daniel, Aanon, Zie juga beberapa tokoh dengan kewarganegaraan Jepang seperti Ryu, Maki, dan Dahe, menjadi sarana pembanding budaya yang kompleks dengan apa yang Ale punya dan bawa dari rumah seperti budaya Jawa asalnya yaitu Solo, dan tentu saja Islam yang kental. Selain kisah cinta yang memang dimunculkan di sepanjang bab ke bab, juga lintas bahasa (yang ditandai dengan banyaknya catatan kaki) yang memperkaya imajinasi kita tentang situasi Hong Kong, ada harapan tersirat pengarang lewat tokoh Ale bahwa: perempuan-perempuan Indonesia mesti bermartabat; pekerjaan halal meski dianggap rendah sekalipun tidak menyurutkan diri untuk selalu menjujung tinggi kehormatan, harga diri, cara berpikir, semangat hidup, dan kreativitas; Islam—di mana pun berada tidak semestinya berubah, harus utuh dan kekal; belajar segala hal tentang kehidupan—baru akan mematangkan ilmu yang mungkin didapat dari sekolah-sekolah.

Sekali lagi, generasi muda Indonesia sekarang mesti melihat Ale! Sosok perempuan yang mandiri, tidak berpangku tangan, santun, bermartabat, menjunjung tinggi semangat hidup dan cinta, pekerja keras, kreatif, jujur, terus belajar, dan muslimat sejati yang kukuh—tak berubah di tempat, ruang, dan waktu yang berbeda.


Yogyakarta, 2 Juli 2010

Dirangkum dari pengantar Joko Gesang Santoso,
Pengamat sastra, Cerpenis, Penyair, Lulusan Sastra Indonesia UNY. Tinggal di Yogyakarta

"Mell, hanya ada satu kalimat buat novelmu : perjuangan yang menggetarkan ! Berjuang dalam beberapa hal : persahabatan, cinta, dan yang pasti keyakinan. Jika novel ini dibaca oleh para tenaga kerja wanita atau TKW (khususnya yang kerja di Hongkong), pasti tidak heran. Tapi, orang lain di luar, mereka mungkin akan heran. Sebab, dalam pandangan awam, TKW selalu kental dengan kekerasan. Padahal, justru jika novel ini terbit, kita bisa tunjukkan kepada mereka bahwa tidak semua TKW seperti apa yang mereka bayangkan. Congratulation !" -

Lintang Alit
Penulis

******************************************************************************************

Lihat juga tulisan lainnya :

* Tentang Penulis Novel Xie – Xie Ni De Ai

* Emosi Berapi-api Membakar Kesempatan dan Mimpi by Mell Shaliha

******************************************************************************************

Super Herbal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar