#comment-holder p a {display:none;}

Jumat, 12 Agustus 2011

Emosi Berapi-api Membakar Kesempatan dan Mimpi




Oleh : Mell Shaliha *

Swear, kalau sesuatu yang paling buatku hate setengah mati adalah diriku sendiri ketika sedang emosi. Ketika emosiku sedang menyala, tak jarang aku menjadi malas melakukan aktifitasku. Dan ketika itu juga aku akan malas bicara pada siapapun tanpa kecuali. Aku tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan. Dikala aku sedang kecewa berat, akan tampak di raut wajahku. Ketika bahagia pun akan sangat kelihatan berbinar-binar.

Naah… disaat aku sedang dalam keadaan emosi, semua seperti menyala-nyala dan aku tidak peduli dengan lingkunganku ketika ngambek. Aku sadar sepenuhnya bahwa sifat ini sangat buruk, tapi bagaimana lagi kadang aku memilih diam dalam waktu yang lama sampai puas dan hilang emosiku.

Pernah beberapa kali aku melewatkan kesempatan baik yang menyangkut bakatku karena sedang dalam emosi yang berapi-api. Pertama saat aku duduk di kelas dua SMK. Aku tergabung dalam club debat bahasa Inggris sekolah, tepatnya di SMK Negeri 4 Jogjakarta. Teamku adalah team unggulan pertama yang terdiri dari aku, Upi dan Ori. Team A, kami memang beberapa kali menjuarai kompetisi dan team kami sangat solid. Semua pasti tahu kalau suatu team itu butuh anggota yang kompak dan tidak mudah dipatahkan. Harus membangun team work yang kuat untuk melawan argumen musuh. Nah, hal itu sangat tidak mudah, karena watak dari masing-masing personel kadang berbeda. Penyatuannya harus dengan banyak berlatih dan diskusi bersama serta membutuhkan waktu yang lumayan lama.

Dari memory kebersamaan dan beberapa kali kompetisi, perjuangan kami sangat berat. Namun suatu ketika, team sekolah terpilih mewakili Propinsi DIY dalam kompetisi debat nasional di Bandung tim kami dirubah dan waktu itu aku tidak diberitahu sama sekali. Tentu saja aku kecewa berat dengan keputusan pelatih, sebenarnya bukan karena tim yang dirubah saja tapi juga tidak ada pemberitahuan. Teman-teman juga belum sempat memberitahukan hal itu pada saya. Tiba-tiba saja saat seleksi di tingkat propinsi tim sudah berubah. Saya sempat menangis sejadi-jadinya waktu itu. Tapi keputusan sudah final. Rasanya perjuanganku dalam tim A sia-sia kalau pada akhirnya tim kami berubah total, itu yang ada dalam benakku.

Karena kekecewaan yang besar, timbullah kemarahan yang meletup-letup, aku seakan tak bisa berpikir positif. Semua jadi blank kecuali rasa kecewa dengan keputusan guru pembimbing. Hari H-1 aku mencari salah satu guru pembimbing debate club, Ibu Meisya. Tanpa senyum akrab seperti biasanya, dengan wajah murung karena jengkel, aku mengajukan surat pengunduran diriku dari club. Ibu Meisya kaget dan sepertinya tidak menyangka aku akan seperti itu. Beliau sampai minta maaf berkali-kali dan menyuruh rekan-rekanku untuk membujuk agar aku tidak keluar dari club.

Percuma, aku sudah memberatkan rasa kecewaku dibanding untuk lebih berfikir positif bahwa pilihan mereka demi kebaikan sekolah yang akan mewakili provinsi ke tingkat nasional. Toh sebenarnya sekolah juga tetap mengirim tiga tim unggulan kami ke Bandung. Tapi aku tidak bisa berfikir secara logis dan bijaksana, di satu sisi hatiku aku menyesal, sedang di sisi lain aku lebih memberatkan ego dan tetap marah. Akhirnya kesempatan itu aku buang saja jauh-jauh. Nasehat dan bujukan Ibu Meisya, Ibu Rima dan Pak Kasiyanto, ketiga guru pembimbingku itu hanya membuatku tambah sakit hati. Aku menghindari semua kawan-kawan dari tim debat dan tak mau lagi bertegur sapa dengan mereka. Sunggu kelakuan yang sangat kekanak-kanakan menurutku.

Beberapa hari berlalu, mereka tetap berangkat ke Bandung tanpaku. Ada duka yang begitu dalam mengisi hari-hariku. Aku merasa tidak berguna dan sok. Aku menilai sesuatu pasti hanya dari satu sisi saja, mementingkan ego dan pribadiku, padahal ini adalah urusan sekolah yang harus melibatkan banyak pihak. Selang satu bulan, hatiku baru luluh oleh jalannya waktu. Ketika teman-temanku menceritakan kehebatan tim dari Jawa barat, kegelisahan mereka saat building case bahkan kawan-kawan baru yang mereka kenal dari dunia debat dari berbagai propinsi dan keasyikan perjalanan menuju Bandung. Semua itu membuatku menangis, bukan karena apa-apa, tapi karena menyesali kebodohanku yang melewatkan kesempatan terbaik sekali semasa sekolahku. Hanya memilih diam dengan kemarahan yang tidak ada hasil apa-apa, sungguh menyebalkan.

Aku kehilangan kesempatan meraih prestasi yang sejak dari kelas satu aku bangun susah payah. Menjadi seorang English debater yang andal merupakan prestasi impianku selama ini, namun karena emosi yang tak tertahankan aku harus rela mengorbankan kesempatan baik itu. Artinya kegagalanku meraih prestasi adalah karena emosi yang memuncak dan tak bisa ku kendalikan. Hasilnya adalah penyesalan serta aku tidak bisa menjadi siswa yang maju dan berprestasi.

Itulah kawan, satu hal yang sampai sekarang membuatku ragu untuk berkumpul dengan suatu komunitas serta hal yang menjadi boomerang dalam setiap gerakku untuk melangkah maju. Bagiku menuai mimpi tak hanya membutuhkan usaha dan doa, namun juga kekuatan mental dalam meghadapi situasi semacam apapun. Saat ini aku masih belajar untuk lebih tawadu’ dan terutama menguasai emosi yang selalu menyulut amarah yang menjadikan kelemahan daya pikirku. Saat aku tidak sedang emosi, pasti semua berjalan lancar, namun ketika emosiku meluap semua rasa seakan mati dan menjadi kebencian yang membunuh setiap kesempatanku, huuuh !!!

* Pemenang Lomba Hate 1/2 Mati Penerbit Diva Press, Kontributor di Tabloid dwi mingguan APAKABAR Indonesia, Penulis Novel : XIE XIE NI DE AI

***************************************************************

Baca juga tulisan lainnya :

* Di Tépìåñ PÅGì .....

***************************************************************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar